Kamis, 29 Maret 2012

Stay With Me #part 4


Title       :  Stay With Me
Genre   :  Teen, romance
Main Cast :
·         Kirana Queenella Fharesia
·         Bisma Karisma
·         Dicky Prasetya
·         Nesya Geira Syafa
Follow :  @frindaz_tari
Note      :  Semua tokoh di cerbung ini murni hanya khayalan. Fiktif. Jadi, karakter (MS) disini beda dengan karakter di dunia nyata. Jangan disamakan ya..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kiran, si  gadis broken-home. Dia hanya ingin perhatian, kasih sayang—dari orang yang tulus. Tulus, tanpa maksud terselubung.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 “Gue sayang sama elo Ran.. Bener-bener sayang. Gue gak mau kehilangan elo.. Lupain semua yang terjadi di kantin tadi.. Lupain taruhan setan itu. Gue khilaf, sekarang dan selamanya gue bener-bener gak mau kehilangan elo Kirana…” ucap Bisma lirih, namun dapat terdengar jelas di telinga Kiran.
Kiran kembali menatap mata Bisma. Kali ini dengan tatapan teduhnya. Entah apa maksud dari tatapan itu.
“Gue—“ ucapan Kiran terpotong oleh suara teriakan seseorang yang entah darimana asalnya.
 “HEY!! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!”
Suara teriakan dari seseorang yang terdengar sangat berat, tegas, dan galak memecah nuansa ‘panas’ dan tegang di lorong koridor SMA Arghatafia tersebut. Membuat semua mata penghuninya melotot maksimal serta mulut menganga lebar, setelah melihat siapa seseorang itu.
“Gue CEKEK lo!!” pekik Kiran yang masih dalam kurungan Bisma, saat ia mengetahui siapa yang berteriak. Sesaat, mata Bisma yang masih tak berkedip melihat siapa yang meneriakinya itu langsung beralih ke Kiran. Ia menunjukkan deretan giginya yang berbehel, berusaha membuat wajah sepolos-polosnya dihadapan gadis pujaannya.
“Engg.. Ntar gue atasin. Elo tenang aja ya yank!” ucap Bisma dengan cengiran khasnya dan kedipan sebelah matanya, membuat Kiran muak. Tatapan cowok itu kembali tertuju pada seseorang tadi—lelaki—berkacamata—berkacak pinggang—geleng-geleng.
Meski seseorang itu tak ber-ekspresi berlebihan, namun dengan terlihatnya rahang yang mengeras, dapat dipastikan ia sedang geram. Dengan mata yang masih menatap Bisma dan Kiran bergantian—di posisi ‘itu’—di luar kesadaran mereka berdua.
“Bisma Karisma dan Kirana Queenella Fharesia.. IKUT SAYA SEKARANG!!” tak hanya Kiran dan Bisma yang tersentak dengan bentakan pada terakhir kalimat itu, semua penghuni koridor yang tadinya masih diam tak bergerak sontak terkejang massal. Bentakan yang benar-benar membuat siswa-siswi Arghatafia spot jantung.
“I-iya Pak Tomo..” Bisma menyahut dengan sedikit nada gugup, atau.. takut? Sedangkan Kiran masih menatap mantan kekasihnya itu dengan tajam, jengkel, muak. Pokoknya campur aduk jadi satu.
‘Elo bener-bener buat gue susah!!’ rutuk Kiran dalam hati.
Seseorang itu bernama Tomo Budiarto. Guru senior berumur 42th, namun masih segar bugar. Berkepala sedikit plontos bagian atas dan depannya. Ia adalah salah satu Guru Kesiswaan yang menangani Siswa-siswi bermasalah khusus kelas 12—sekaligus tukang ngasih POIN. Di juluki Mr.DAPO oleh seluruh siswa-siswi Arghatafia, yang merupakan singkatan dari ‘Mr.Danger Poin’. Karena semua siswa-siswi yang berhasil masuk ruang BK khusus Pak Tomo, dapat dipastikan mereka akan berhubungan dengan pertambahan POIN atau yang terparah surat Skorsing.
Kiran segera menyentakkan cekalan tangan Bisma di tangannya.  Mereka berdua pun digiring (?) ke ruang Kesiswaan oleh Pak Tomo.

*****

“Sekarang.. Jelaskan!” perintah Pak Tomo saat dirinya, juga dua orang siswa yang tak asing baginya telah duduk di hadapannya.
Kiran hanya menyender santai di punggung kursi yang ia duduki. Sementara mata ungu-kebiruannya melirik tajam ke arah Bisma yang tepat duduk di samping kanannya.
“Ini cuma masalah biasa Pak..” Bisma menyahut dengan nada tenang, namun dalam hatinya ia sudah belingsatan sendiri. Bagaimana bisa seorang Ketua OSIS—kepergok oleh guru Kesiswaan ter-angker, dalam keadaan sedang melakukan sesuatu yang seharusnya ia tak melakukannnya di depan umum—tepatnya di koridor yang ramai.
“Owh, boleh saya tau se-biasa apa masalah kalian sampai-sampai cara penyelesaiannya harus dengan dempet-dempetan di koridor kaya gitu?” tanya PaK Tomo tajam.
“Saya gak bohong Pak. Ini cuma masalah biasa—dan gak penting untuk diketahui oleh Bapak.” Bisma mengucapkannya dengan sedikit melirik ke arah Kiran yang masih dengan santai menyender di punggung kursi. Tak ada reaksi dari gadis itu.
“Ehm.. Se-biasa apa masalah kamu sama Kiran sampai dempet-dempetan kaya gitu?” Pak Tomo mengulang pertanyaannya seolah tak menggubris penolakan penjelasan dari Bisma.
“Saya gak tau apa yang akan terjadi jika saya tidak segera datang. Apa kalian sudah berbuat jauh tadi?” Pak Tomo melanjutkan ucapannya yang terdengar seperti kalimat tuduhan.
Kiran menarik nafas lalu membuangnya cepat. Sudah cukup ia berdiam diri. Gadis itu menegakkan posisi duduknya, seraya menatap datar guru kesiswaan di hadapannya.
“Kita kan udah bilang cuma masalah biasa Pak! Bapak tuh ngerti gak sama Hak Asasi Manusia? Bapak kan guru, pasti taulah tentang adanya peraturan supaya gak ikut campur dalam masalah pribadi seseorang? Apalagi ini bukan hanya masalah satu orang, ini masalah kami Pak. Saya dan cowok ini. Jadi saya mohon dengan sangat Bapak gak usah repot-repot ngurusin masalah kami juga. Sekarang Bapak to-the-point aja deh. Saya mau di skorsing apa gak?” Mata Mr.Dapo melotot sempurna, ia memang telah mendengar seberapa beraninya Gangster cantik di depannya ini dari guru-guru kesiswaan lain, namun baru kali ini ia merasakannya secara langsung. Ucapan gadis bermata khas ini begitu melekat di telinga juga otaknya. Rahangnya mengeras seketika. Kedua telapak tangan yang ada di atas meja kini telah mengepal sempurna.
Bisma yang tak kalah kaget dengan ucapan Kiran hanya bisa melihat gadis itu dengan tatapan tak percaya, dan mulut yang sedikit menganga. Bisma menelan ludahnya sendiri kemudian.
“Bapak kok diem sih? Saya ini bertanya sama Bapak. Saya mau di kasih Poin lagi, atau langsung di skors?” Kiran sedikit geram karena pertanyaannya di acuhkan. Nyatanya, ia memang tak sedikitpun takut dengan Mr.Dapo di depannya ini—yang sukses membuatnya semakin jengkel karena terlalu bertele-tele.
“Kamu gak di ajarin sopan santun, hah?!” balas Mr.Dapo dengan sedikit nada membentak. Bisma semakin geleng-geleng tak tau harus bebruat apa saat ini.
“Lho.. Saya kan tanya baik-baik sama Bapak? Kalo saya gak punya sopan santun, udah dari tadi saya pake bahasa kasar ke Bapak. Sekarang siapa yang gak punya sopan santun, ada orang nanya tapi gak di jawab?” Kiran sedikit tersenyum meledek melihat lawan bicaranya sudah tersungut amarah.
“KAMU BILANG SAYA GAK PUNYA SOPAN SANTUN, HAH?!!” Suara bentakan Pak Tomo menggelegar di semua sudut ruangan kesiswaan khusus kelas 12 tersebut, bahkan juga dapat terdengar hinnga ke luar ruangan—tempat dimana beberapa sekelompok manusia yang mengerumuni daun pintu dengan tujuan bisa mendengar apa yang terjadi di dalam.
Tubuh Bisma menegang sempurna mendengar suara Pak Tomo yang jelas emosi dengan level up. Sementara gadis di sampingnya tak berekpresi, sudut bibir kanannya terangkat. Mencetak sebuah senyuman merendahkan lawan bicara yang jauh lebih tua dari usianya itu.
“Wowoo.. Bukan saya lho, yang bilang begitu Bapak Tomo Budiarto yang terhormat.” Balas Kiran masih dengan nada yang tenang, namun terselip nada mengejek.
`BRAKK`
“CUKUP!! Saya akan membuat surat panggilan untuk orang tua kamu! Besok jam istirahat pertama mereka harus menemui saya!” putus Pak Tomo dengan nada tegas, berusaha untuk tidak semakin terbawa amarahnya. Mendengar keputusan Pak Tomo, Kiran hanya tersenyum kecut. Sementara Bisma menatap khawatir ke arah Kiran. Ia menyadari ada sesuatu yang salah dari ucapan Pak Tomo.
“Bapak lupa, atau pura-pura gak tau? Yang ada kan cuma Tuan Arghawijaya—seorang. Lebih baik Pak Tomo langsung kasih surat itu ke ‘Dia’. Saya sih gak yakin kalo Tuan terhormat seperti Beliau akan peduli sama hal gak penting yang menyangkut saya kaya gini.” tandas Kiran membuat Pak Tomo dan juga Bisma terdiam. Mereka menatap Kiran yang sedang mengalihkan pandangan ke arah langit-langit ruangan itu. Terpaku saat mereka menyadari bahwa gadis itu sedang berusaha untuk menghentikan  matanya yang mulai berkaca-kaca.
Sesaat kemudian semburat senyum miris mulai tergaris di bibir mungilnya. Pak Tomo baru menyadari bahwa dia salah berucap. Lelaki berumur kepala empat itu lupa—bahwa Kiran sudah tak memiliki seorang ibu, yang ada hanya ayah—tak lain adalah Arghawijaya—pemilik SMA Arghatafia.
“Kiran—“
“Keputusannya udah final kan, Pak? Saya mau balik ke kelas, makasih.” Kiran sengaja memotong ucapan Pak Tomo, karena ia tak mau pertahanannya runtuh di depan guru kesiswaan yang terkenal disiplin juga tak pandang bulu ini. Gadis berambut pirang sebahu ini langsung berdiri dari duduknya, dan berjalan menuju pintu ruang Kesiswaan. Sementara Bisma dan Pak Tomo masih terdiam menatap punggung gadis itu dengan tatapan yang sulit di artikan. Terlintas perasaan bersalah—juga kasihan kepada Kiran, terutama bagi Pak Tomo. Baru kali ini ia merasa tidak enak hati dalam memutuskan hukuman untuk Siswa atau Siswi bermasalah yang di tanganinya. Baru kali ini. Hanya kepada Kiran untuk pertama kali..

*****

`Bruuukk!!`
Seketika  segerombolan siswa—juga siswi yang sedang asyik-asyiknya ‘menguping’ di depan pintu ruangan Kesiswaan jatuh berjamaah (?) saat sang gangster membuka pintu tersebut dari dalam.
“Ngapain?” Kiran mengernyit heran saat melihat segerombolan manusia sedang bertumpukan—saling menindih di sepatu sneakers yang di pakainya.  Tak hanya Kiran yang menatap heran, Pak Tomo dan juga Bisma yang masih dalam ruangan seketika menoleh ke arah pintu dengan pandangan ingin tau.
Segerombolan manusia yang di tatap Kiran buru-buru berdiri dan membenarkan seragamnya masing-masing. Sedetik kemudian, mereka langsung menampakkan gigi mereka secara berjamaah pula. Ber-cengir-ria ketika melihat Kiran sedang memandang mereka satu-persatu dengan tatapan tajam.
“Huuuftt~” Kiran menghembuskan nafas jengkel.
“Guru sama murid gak ada bedanya.” Sekitar 20 orang yang kini berjejer di luar ruangan Kesiswaan menatap bingung Kiran. Bingung dengan ucapannya. Pak Tomo yang di dalam juga dapat dengan jelas mendengar ucapan Kiran. Seketika ia melongok lebih dalam ke arah pintu yang begitu ramai di pengkihatan, namun begitu sunyi di pendengaran. Hanya suara dari gangster cantik itu yang terekspos.
“Gak ngerti HAM. Mau tau urusan orang. Gak ada kerjaan!” tandas Kiran, kemudian langsung meninggalkan mereka semua—temasuk Bisma juga Pak Tomo—yang melongo tak percaya. Mereka geleng-geleng. Kiran emang bener-bener ceplas-ceplos.

*****

“Ehmm.. Pak!” sahut Bisma berusaha memecah keheningan diantara dirinya dan sosok guru angker di depannya. 5 menit berlalu semenjak kepergian Kiran, Pak Tomo masih terdiam. Siswa-siswi yang tadi berdiri di depan pintu ruang Kesiswaan juga masih Stay Cool berdiri dengan tampang innocent, sama sekali tak merasa risih karena telah menguping pembicaraan pribadi itu.
“Pak Tomoooo?” panggil Bisma lagi dengan sedkit keras, dan lambaian tangan di depan wajah Pak Tomo. Bisma sedikit ngeri sebenaranya melakukan hal itu.
“Ehm, yah! Ada apa Bis?” akhirnya roh Pak Tomo yang tadi sempat melayang telah kembali pada raganya. Mendengar respon Pak Tomo, Bisma jadisalah tingkah sendiri. Ia mengusap tengkuknya sendiri.
“Umm, saya—gimana Pak?” Bisma menunjuk sirinya dendiri dengan telunjuk tangan kanannya.
“Gimana apanya?” Pak Tomo masih nggak ngeh.
“Lha, itu—aduh.. Itu loh Pak..” Bisma jadi kikuk sendiri.
“Itu apa Bisma Karisma?!” emosi Pak Tomo mulai naik ke level middle up kembali.
“Sa-Saya gimana hukumannya?” tanya Bisma terbata-bata. Pak Tomo menatapnya sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagunya.
“Hmm.. Ya jelas sama kaya’ Kiran-lah! Besok jam istirahat pertama, orang tua kamu atau salah satu dari mereka harus menemui saya.” perintah Pak Tomo akhirnya. Bisma membuang nafas pasrah. Mau gimana lagi? Ia yakin betul, nyanyian sumbang dari sang Mama akan segera di dengarnya saat ia memeberitahu tentang hal ini.
“Hahh.. Yaudahlah Pak..” Ucap Bisma pasrah seiring dengan berdirinya ia dari kursi ‘panas’-nya. Mantan  kekasih Kiran tersebut berjalan gontai ke luar ruangan, merasa tak dapat berharap supaya ada keringanan dalam hukumannya. Apapun, asal jangan panggil orang tua, batin Bisma.
Baru beberapa langkah, suara Pak Tomo kembali terdengar.
“Bisma!” wajah Bisma terangkat, mungkin saja Pak Tomo membatalkan hukumannya itu. Walau terkesan mustahil sih..
“Ya Pak?? Gak jadi panggil orang tua saya ya??” sahut Bisma bersemangat sambil memutar badan, kembali menghadap guru setengah plontos tersebut dengan tatapan berbinar.
Mata Pak Tomo melebar. Segitu PD-nya kah muridnya ini?
“Siapa bilang? Besok orang tua kamu tetap harus menemui saya.” Jawab Pak Tomo tegas. Wajah Bisma kembali murung. Letih, lemas, lunglai.. Persis gejala iklan obat anemia.
“Terus maksud Bapak apa manggil saya?”
Sesaat hening..
Segerombolan manusia yang masih ngintip plus nguping juga tak ada yang bersuara. Penasaran juga sih, kenapa si Mr. Dapo manggil Bisma lagi?

“Saya minta tolong..” jawab Pak Tomo dengan memandang Bisma penuh arti. Bisma semakin gruk-garuk kepala belakangnya. Sama sekali gak ngerti maunya nih guru satu apa?
“Tolong apaan Pak?”
“Kerokin saya yah! Saya masuk angin kaya’nya.” 
“HAH??!”
`Gubrakk`
Segerombolan manusia pingsan berjamaah. Bisma berdiri mematung, menatap Pak Tomo dengan mulut menganga lebar..

*****

Sementara itu, di atap gedung SMA Arghatafia yang berlantai 5.. Terdapat seorang gadis yang tengah duduk di dekat pinggiran pembatas gedung sekolah tersebut. Gadis berwajah oriental itu duduk dengan memeluk kedua lututnya. Mata sipitnya terpejam, wajah putih bersihnya menengadah ke arah langit. Dia Kiran—yang tadi mengaku akan kembali ke kelasnya.
 Cuaca memang sedikit mendung, sehingga paras rupawannya sama sekali tak merasakan panasnya matahari yang tertutupi awan kelabu. Angin berhembus cukup kencang, membawa helai demi helai rambut pirang sebahu yang merupakan sisa-sisa dari ikatan asalnya beterbangan mengikuti arah angin tersebut.
Tanpa ia sadari, air mata mengalir begitu saja membasahi pipi chubby-nya dengan bebas. Tak ada suara, teriakan, atau isakan yang umumnya di keluarkan kaum hawa jika sedang menangis.
Ia diam. Gadis itu diam..
Kiran semakin larut dalam tangisan sunyinya..
Semakin ia mempererat pejaman matanya, semakin ia teringat dalam kelam masa lalunya.
‘Ma.. Kiran gak tau lagi harus gimana ngadapin hidup ini. Kiran udah capek Ma.. Capek! Semua berubah drastis sejak Mama pergi—ninggalin Kiran..’Kiran mengadu dalam hati, seiring dengan aliran air matanya yang semakin deras. Namun tetap tak menimbulkan sedikitpun suara.
‘Maaf Ma.. Maaf.. Kalo aja Kiran gak ngotot—gak maksa Mama buat jemput Kiran, mungkin sekarang Mama masih disini. Masih sama Kiran—juga Papa..’
‘Gue emang bego! Egois! Manja gak mandang situasi!’
‘Andai waktu bisa di putar.. Kiran mau Mama yang hidup. Kiran mau Kiran yang ada di tanah merah itu.. Kiran kangeeenn banget sama Mama.’
‘Kiran gak tau berapa kali Kiran nangis. Maafin Kiran yah Ma.. Kiran gak bisa nepatin janji buat gak nangis lagi. Itu mustahil Ma, Kiran gak mungkin gak nangis setiap Kiran kangen sama Mama.. Kiran kangeenn, jemput Kiran Ma! Kiran mau ikut Mama!’
“Hiks, hiks..” akhirnya isakan itu timbul juga. Kiran sudah tak mampu menahan perihnya saat dirinya butuh seseorang. Yang mengerti dirinya—seperti Mamanya. Gadis itu menelungkupkan kepalanya yang tadi menengadah, kini tenggelam di antara lutut yang di peluknya.
“Kiran??” terdengar suara seseorang di belakang Kiran. Gadis itu tentu mendengarnya, namun ia sengaja tak megangkat kepalanya. Seperti biasa, Kiran berusaha untuk menghapus air matanya dengan gerakan samar dan perlahan yang sampai saat ini menjadi keahliannya dalam  menutupi keadaan di saat dirinya kembali terpuruk.
Sedikit demi sedikit, seseorang yang memanggil Kiran tersebut berjalan semakin mendekat ke arah Kiran yang masih duduk memunggunginya.
Setelah dirasa tak ada air mata lagi yang membasahi pipinya, Kiran menengadahkan wajahnya. Sedikit menoleh ke belakang, untuk mengetahui siapa seseorang itu.
“Wahh.. Ternyata bener sii Gangster cakep! Azeekk.. ” seru Dicky dengan nada ceria, seakan tak ada masalah sedikitpun dalam hidupnya. Cowok imut itu sekarang duduk di samping kanan Kiran. Sementara Kiran sendiri hanya melengos, membuang nafas pasrah saat melihat Dicky.
“Sendirian disini?” Dicky membuka percakapan dengan pertanyaan yang basi menurut Kiran.
“Elo buta?!” balas Kiran sinis. Dicky yang memang sudah kebal dengan sikap jutek Kiran, hanya menanggapinya dengan tertawa kecil.
“Are you crazy?!” Dicky semakin lebar tertawa melihat wajah sinis Kiran.
“Ya.. I’m crazy—because of you..” goda Dicky. Bukannya tersenyum malu, Kiran malah menjitak kepala Dicky.
`Takk!`
“Auww.. Sakiit Raann..” rengek Dicky seperti seorang balita—sambil terus mengusap bagian kepala yang dijitak Kiran. Menatap gadis itu dengan tatapan memelas. Namun Kiran masih tak menanggapinya, ia menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Dan Dicky dapat dengan mudah membaca itu.
“Waeyo? (kenapa?).” nada bicara Dicky berubah menjadi lembut dan serius. Sifat bercandanya kini mendadak hilang entah kemana.
Kiran pun tersentak, ia menoleh ke arah Dicky sekejap. Lalu kembali menatap lurus ke depan.
“Nothing..”
“Don’t lie to me..” pinta Dicky, sekarang Kiran dapat mendengar jelas nada khawatir dari ucapan siswa baru ini.
“Be honest Kirana.. I know you have a problem now.” Dicky mengangkat tangan kanannya, ia memegang dagu Kiran pelan—menolehkan wajah Kiran untuk menatapnya.
Kiran tertegun selama beberapa detik. Namun saat ia sadar, ia langsung menepis pelan tangan Dicky. Gadis itu lagi-lagi menatap lurus ke depan. Seolah pemandangan hampa di depannya lebih menarik daripada menatap Dicky—menatap matanya.
I'm not lying to you.. I don’t have a problem now Dicky..” Dicky terdiam, mendengar kalimat itu dari mulut Kiran. Dicky menatap cemas Kiran, bukan berarti ia percaya sepenuhnya dengan ucapan Kiran tadi.
“Stop look at me like that!” ketus Kiran yang menyadari tatapan Dicky. Dicky pun terkekeh.
“Owh.. Come on Kirana. Although we'd just met, but for some reason I've felt that I've known you for a long time. In spite of myself, I feel there is something wrong in you’re self. Although I don’t know what it is, but I'm sure you must be strong. (Owh.. Ayolah Kirana. Meski kita baru aja kenal, tapi gue gak tau kenapa gue ngerasa kalo gue udah kenal elo dari dulu. Tanpa gue sadari, ngerasa ada sesuatu yang salah di diri elo. Meski gue gak tahu apa itu, tapi gue yakin elo pasti kuat)” Kiran terdiam mendengar ucapan Dicky. Sementara mata Dickymasih setia untuk memperhatikan Kiran.
“Berentiin omongan gak penting elo sekarang.” ucap Kiran akhirnya dengan nada yang kembali ketus.—membangun topeng itu lagi. Dicky tertawa sinis.
“Neo jeongmal yeppeuda. (Elo cantik banget.)” goda Dicky tiba-tiba. Entah apa maksudnya, namun ia hanya ingin keluar dari pembicaraan yang terkesan terlalu jauh tadi—untuk ukuran orang yang baru kenal.
Kiran mengernyit. Maksudnya apa lagi ni bocah?
“Stop it!” Kiran geram. Dipikirannya, Dicky seperti berkarakter ganda. Dengan cepat cowok itu berubah menjadi karakter awal. Ceria, suka ngegodain.
“Hahaha.. You’re so cute beibh..” Dicky mencolek dagu Kiran. Kiran bergidik sambil berusaha menjauh dari duduknya Dicky.
“Ihh, bisa masuk RSJ gue deket-deket sama elo!” umpatnya membuat Dicky semakin ngakak. Cowok itu tak dapat lagi menahan tawanya yang meledak-ledak. Ia sangat suka melihat ekspresi ngeri Kiran. Tambah imut, batin Dicky.
“Hahahaha.. Muka elo pengen gue bekep Ran!”
`TAKK!`
Seketika Dicky meringis saat mendapat pukulan yang cukup kencang di ubun-ubunnya. Kiran tersenyum mengejek.
“Ada juga muke elo yang gue jadiin bemper mobil. Kunyuk!!” Kiran langsung berdiri, dan belari meninggalkan Dicky yang masih meringis.
Sesaat kemudian..
“Lha? Gue di tinggal lagi? LAGI?!! Innalillaahhh….”

*****

To be continued..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar